Perspektif Ats-Tsiqah Yang Perlu diMiliki Oleh Setiap Ikhwah
18/6/2009 | 24 Jumada al-Thanni 1430 H | 1,726 views
Oleh: Muhamad Abdul Halim Hamid
Artikel asal: http://www.al-ikhwan.net/perspektif-ats-tsiqah-yang-diinginkan-atas-setiap-ikhwah-2782
Imam Syahid berkata: “Yang saya maksud dengan tsiqah adalah rasa puasnya seorang prajurit atas komandannya dalam hal kemampuan dan keikhlasan; dengan kepuasan mendalam yang dapat menumbuhkan rasa cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan”. Allah SWT berfirman:
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisa:65)
Pemimpin adalah sebahagian dari dakwah. Tiada dakwah tanpa kepemimpinan. Sikap saling mempercayai antara pemimpin dan yang dipimpin, menjadi kayu ukur yang menentukan kekuatan sistem jamaah, kemantapan gerak langkah, kejayaan mencapai tujuan serta kemampuan mengatasi pelbagai rintangan yang menghalang..
“Maka lebih utama bagi mereka ketaatan dan perkataan yang baik” (Muhammad: 21).
Kepemimpinan –dalam dakwah Ikhwan—memiliki hak sebagaimana hak orang tua dalam hubungan batin; hak seorang guru dalam penyampaian ilmu; hak seorang syeikh dalam pendidikan rohani; dan hak pemimpin dalam menentukan percaturan politik secara umum bagi dakwah. Dakwah kita menghimpunkan nilai-nilai tersebut secara keseluruhan.
Musuh-musuh Islam menyedari bahawa Islam adalah musuh terbesar. Sejarah masa silam dan realiti masa kini telah membuktikan kepada mereka bahawa apabila umat kita telah menemui jalan kebenaran menuju Islam, maka kekuasaan musuh akan terancam runtuh dan lenyap. Pihak musuh tidak takut kepada Islam yang “lunak” yang tidak memiliki kekuatan, tetapi mereka takut kepada Islam dalam bentuk gerakan jihad yang menggabungkan seluruh kekuatan kaum muslimin dan menyatukan barisan mereka untuk menghadapi musuh.
Wahai Ikhwan, oleh kerana dakwah kita bertunjangkan kepada kekuatan aqidah dan pergerakannya secara besar-besaran adalah untuk melawan musuh-musuh Islam dan menggagalkan perancangan mereka, maka sudah tentulah amat wajar jikalau pihak musuh sentiasa berusaha mengerahkan segala senjata dan kemampuan untuk menghadapi dakwah kita. Bahkan setiap inci ruang dan peluang akan mereka manfaatkan untuk memerangi dan menghancur leburkan dakwah kita.
Tektik paling merbahaya dan licik yang digunakan oleh pihak musuh ialah dengan menimbulkan ‘perpecahan dalaman’ di dalam dakwah, sehingga memungkinkan mereka memenangi pertarungan kerana kekuatan dakwah kita akan menjadi lemah akibat perpecahan yang berlaku. Unsur yang paling efektif bagi menimbulkan perpecahan dalaman dalam dakwah adalah hilangnya tsiqah (kepercayaan) antara ahli dan pihak pimpinan. Kerana apabila ahli telah tidak memiliki kepercayaan kepada pimpinannya, bermakna ketaatan akan tercabut dari dalam jiwa mereka. Bila ketaatan telah hilang, maka tidak mungkin akan wujud kepemimpinan dan kesannya tidak mungkin jamaah akan dapat wujud.
Oleh karena itulah, Imam Syahid menekankan rukun tsiqah dalam “risalah ta’lim” dan menjadikannya sebagai salah satu rukun baiah. Ia menjelaskan perlunya rukun ini dalam menjaga keutuhan dan kesatuan jamaah. Ia mengatakan: “…Tiada dakwah tanpa kepemimpinan. Sikap saling mempercayai antara pemimpin dan yang dipimpin, menjadi penentu kekuatan sistem jamaah, kemantapan gerak langkah, kejayaan mencapai tujuan serta kemampuan mengatasi pelbagai rintangan yang menghalang..
“Maka lebih utama bagi mereka ketaatan dan perkataan yang baik” (Muhammad: 21).
…”Dan tsiqah terhadap pemimpin merupakan segala-galanya bagi kejayaan dakwah”
Bukanlah menjadi syarat bahawa pemimpin yang berhak mendapat tsiqah ahli adalah pemimpin yang memiliki segala kemampuan sebagai seorang yang paling kuat, paling bertaqwa, paling memahami dan paling fasih dalam berbicara. Syarat seperti ini hampir sukar diperolehi, bahkan hampir tidak dapat dipenuhi setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Cukuplah seorang pemimpin itu, merupakan seorang yang dianggap mampu oleh saudara-saudaranya untuk memikul amanah (kepemimpinan) yang berat ini. Kemudian apabila ada seorang ikhwah (saudara) yang merasakan bahawa dirinya atau mengetahui orang lain memiliki kemampuan dan bakat yang tidak dimiliki oleh pemimpinnya, maka hendaknya ia mendermakan kemampuan dan bakat tersebut untuk digunakan oleh pemimpin, agar dapat membantu tugas-tugas kepemimpinan. Bukan menjadi pesaing bagi pimpinan dan jamaahnya.
Saudaraku, mungkin engkau masih ingat dialog yang terjadi antara Abu Bakar ra. Dan Umar ra. Sepeninggal Rasulullah saw. Umar ra. Berkata: “Hulurkanlah tanganmu! Aku akan membaiahmu” Abu Bakar berkata: “Akulah yang membaiahmu” Umar berkata: “kamu lebih utama daripada aku” Abu Bakar berkata: “kamu lebih kuat daripada aku” Setelah itu, Umar berkata: “kekuatanku kupersembahkan untukmu karena keutamaanmu” Dan Umar ra. benar-benar menjadikan kekuatannya sebagai pendukung Abu Bakar ra.
Ketika seorang bertanya kepada Imam Syahid, “bagaimana bila suatu keadaan menghalangi kebersamaanmu dengan kami? Menurutmu siapakah orang yang akan kami lantik sebagai pemimpin kami?” Imam Syahid menjawab: “Wahai Ikhwan, lantiklah menjadi pemimpin orang yang paling lemah di antara kalian. Kemudian dengarlah dan taatilah ia. Dengan (bantuan) kalian, ia akan menjadi orang yang paling kuat di antara kalian”
Wahai Ikhwan, mungkin kalian masih ingat perselisihan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar dalam menghadapi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Sebahagian besar sahabat berpendapat seperti pendapat Umar, iaitu tidak memerangi mereka. Namun demikian, ketika Umar mengetahui bahwa Abu Bakar bertegas untuk memerangi mereka, maka ia mengucapkan kata-katanya yang terkenal, yang menggambarkan ketsiqahan yang sempurna, “Demi Allah, tidak ada hal lain yang aku fahami kecuali Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (mereka). Karena itu, aku tahu bahwa dialah yang benar”
Andai Umar ra. tidak memiliki ketsiqahan dan ketaatan yang sempurna, maka jiwanya dengan mudah akan dapat memperdayakannya. Memperdaya bahwa dialah yang benar, apalagi setelah dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Allah swt. telah menjadikan al-haq (kebenaran) pada lisan dan hati Umar”
Alangkah perlunya kita mencontohi sikap seperti Umar ra., di saat terjadi perbezaan pendapat di antara kita, terutama dalam keadaan di mana kita tidak pernah mendengar Rasulullah saw. memberikan pengesahan kepada salah seorang di antara kita, bahwa kebenaran itu pada lisan dan hatinya.
Menyedari betapa pentingnya ketsiqahan terhadap fikrah dan ketetapan pimpinan, maka musuh-musuh Islam berusaha sekuat tenaga untuk menimbulkan keraguan-keraguan pada Islam, jamaah, manhaj jamaah dan pimpinannya. Dan, betapa banyak serangan yang dilancarkan untuk misi tersebut.
Oleh karena itu, seorang aktivis jangan sampai terpengaruh oleh serangan-serangan tersebut. Ia harus yakin bahwa agamanya adalah agama yang hak, yang diterima Allah swt. Ia harus yakin bahwa Islam adalah manhaj yang sempurna bagi seluruh urusan dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Ia harus tetap tsiqah bahwa jamaahnya berada di jalan yang benar dan selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam setiap langkah dan tindakannya. Ia harus tetap tsiqah bahwa pimpinannya selalu bercermin pada langkah Rasulullah saw. serta para sahabatnya dan selalu tunduk pada syariat Allah dalam menangani persoalan yang muncul ketika melakukan aktiviti serta selalu mengutamakan kemaslahatan dakwah.
Apabila seorang aktivis mendengar sesuatu atau ragu-ragu tentang sesuatu, maka jangan dibiarkan ia berlarutan. Tetapi sebaiknya segeralah tabayun (re-check) terhadap hakikat yang sebenarnya, sehingga dadanya tetap bersih dari buruk sangka dan ketsiqahannya tetap terjaga. Dengan itu ia telah memenuhi seruan Allah swt. terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (Al-Hujarat:6)
Allah swt. menegur segolongan orang yang melakukan kesalahan dalam firman-Nya:
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu)”. (An Nisa:83)
Kami ingin mengingatkan bahwa adakalanya sebahagian
Oleh itu, seorang aktivis muslim tidak sewajarnya menyimpulkan suatu hukum berdasarkan apa yang dibaca di dalam media
Mengenai rukun tsiqah ini, Imam Syahid berkata: “Sesungguhnya, tsiqah kepada pimpinan merupakan segala-galanya bagi kejayaan dakwah. Oleh itu, aktivis yang tulus ikhlas harus mengutarakan beberapa pertanyaan berikut kepada diri sendiri, untuk mengetahui sejauh mana ketsiqahan dirinya kepada pimpinannya:
1. Sudahkah mengenal pemimpin dan mengamati seluruh kehidupannya?
2. Percayakah pada kemampuan dan keikhlasannya?
3. Sanggupkah menganggap seluruh perintah yang diberikan pemimpin untuknya –tentunya yang tidak berunsur maksiat- sebagai arahan yang mesti dilaksanakan tanpa curiga, tanpa ragu, tanpa mengurangi dan memberi komen dengan disertai nasihat untuk mencapai kebenaran?
4. Sanggupkah menganggap dirinya salah dan pemimpinnya benar, jika terjadi pertentangan antara sikap pemimpin dan apa yang ia ketahui dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak ada teks tegasnya di dalam syariat.
5. Sanggupkah meletakkan seluruh aktiviti kehidupannya dalam urusan dakwah? Apakah dalam pandangannya pemimpin berhak untuk men-tarjih (menimbang dan memutuskan yang terkuat) antara kepentingan pribadi dan kepentingan dakwah secara umum?
Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan yang seumpamanya , aktivis yang tulus ikhlas dapat memastikan sejauh mana hubungan tsiqah/kepercayaan terhadap pemimpin. Namun, hati, ia berada dalam genggaman Allah. Dia yang menggerakkan hati sekehendak-Nya.
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Anfal:63)